
Sekarang orang cukup naik motor, berhenti di toko kecil, beli minuman, lalu minum di bawah pohon. Murah, mudah, dan berbahaya. Ini yang membuat masalah semakin meluas
Ady Muslimin (Foto: IPS)
Merauke, 24 Oktober 2025 – Tokoh masyarakat Papua Selatan sekaligus mantan jurnalis senior, Ady Muslimin, menilai maraknya kasus kekerasan, kecelakaan, dan kriminalitas akibat minuman keras (miras) di Papua Selatan bukan semata karena perilaku peminum, tetapi karena lemahnya pengawasan dan longgarnya sistem perizinan.
Menurutnya, pemerintah daerah—baik provinsi maupun kabupaten—harus berani mengevaluasi izin peredaran miras yang selama ini dikeluarkan. Sebab, di balik setiap botol yang dijual bebas, ada kebijakan yang ikut bertanggung jawab.
“Kita ini terlalu sering memadamkan asapnya, tapi lupa mencari di mana apinya. Korban tabrakan, pembacokan, dan kekerasan akibat miras itu cuma asapnya. Apinya ada di siapa yang memberi izin, dan siapa yang menerima izin,” ujar Ady kepada wartawan di Merauke, Jumat (24/10/2025).
Ia menegaskan, jika izin-izin tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka sudah seharusnya dilakukan pengawasan oleh legislatif serta lembaga representatif seperti Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS).
“Kalau izin sudah keluar jalur, legislatif dan lembaga kontrol seperti MRP harus turun tangan. Jangan hanya bahas anggaran, tapi evaluasi juga izin yang berdampak langsung pada rakyat,” tegasnya.
Ady mengingatkan bahwa pada masa lalu, penjualan miras dibatasi hanya di tempat-tempat tertentu seperti hotel atau bar, dengan harga yang relatif mahal. Namun kini, miras mudah dijumpai bahkan di pinggir jalan dan dekat tempat ibadah.
“Sekarang orang cukup naik motor, berhenti di toko kecil, beli minuman, lalu minum di bawah pohon. Murah, mudah, dan berbahaya. Ini yang membuat masalah semakin meluas,” ungkapnya.
Sebagai mantan jurnalis, Ady juga menyoroti peran media sosial dan media massa dalam memperkuat persepsi publik terhadap miras dan kekerasan. Ia menilai, penyebaran konten berdarah-darah tanpa empati justru menormalisasi kekerasan di tengah masyarakat.
“Kalau setiap hari anak-anak kita lihat video orang mabuk, orang dibacok, lama-lama dianggap biasa. Media sosial jadi tempat menormalisasi kekerasan. Harusnya media arus utama menjadi benteng terakhir menjaga moral publik,” katanya.
Ady mengajak semua media untuk berpihak kepada korban, bukan pada sensasi.
“Jangan hanya memuat pernyataan pejabat, tapi dengarkan suara rakyat. Tulis dengan empati, bukan dengan ekspos wajah korban yang sedang berdarah-darah. Karena yang menderita bukan pejabat, tapi masyarakat,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan pesan moral yang kuat:
“Mari kita semua berpihak kepada korban, bukan kepada izin. Masyarakat tidak ada urusan dengan izin-izin miras, tapi masyarakatlah yang terus menjadi korban dari kebijakan itu,” pungkasnya. (LBS)