KPK Dorong Transparansi Dana Otsus: Dian Patria Ingatkan Perlunya Pelacakan dan Evaluasi yang Jelas

Kalau ke bawahnya masih kalah dengan peraturan sektoral, Otsus ini jadi kehilangan roh. Kita lihat di sektor kehutanan, pertambangan, maupun perizinan, daerah tidak punya kewenangan penuh. Kalau ada konflik masyarakat, daerah yang disuruh menyelesaikan, padahal izinnya dari pusat. Ini persoalan serius

Dian Patra

Merauke, 20 Agustus 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan pentingnya penataan ulang tata kelola Dana Otonomi Khusus (Otsus) agar benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat Papua. Hal ini disampaikan Dian Patria, Kasatgas Pencegahan Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK, saat mewakili pimpinan KPK dalam Seminar Lokakarya Pencegahan Korupsi Tata Kelola Dana Otsus di Hotel Swiss-Belhotel Merauke, Rabu (20/8/2025).

Dian mengakui, hampir 25 tahun perjalanan Otsus masih menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat. “Bahasa mereka seragam: apa itu dana Otsus, di mana dan untuk apa digunakan? Mereka tidak tahu. Inilah refleksi penting yang harus dijawab bersama,” ungkapnya.

Menurut Dian, selama ini evaluasi menyeluruh sulit dilakukan karena aliran dana Otsus bercampur dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). “Kalau uangnya bercampur, apa yang mau dievaluasi? Tidak kelihatan lagi, mana dana APBD, mana dana Otsus. Karena itu yang paling sederhana dan mendesak adalah bagaimana kita bisa men-track, melacak posisi dana Otsus dari hulu sampai hilir,” tegasnya.

KPK bersama kementerian terkait, kata Dian, telah mendorong integrasi tiga sistem, yakni SIPD, SIPB3, dan SIKD. Dengan integrasi ini, setiap aliran dana bisa terlacak dengan jelas, sehingga meminimalisasi moral hazard dan klaim ganda atas satu kegiatan.

Sejalan dengan Gubernur Papua Selatan Apolo Safanpo, Dian juga menyoroti sisi filosofis Otsus. Ia menyebut Otsus seharusnya bersifat desentralisasi asimetris yang memberi kekhususan, bukan kembali menjadi pengaturan umum.

“Kalau ke bawahnya masih kalah dengan peraturan sektoral, Otsus ini jadi kehilangan roh. Kita lihat di sektor kehutanan, pertambangan, maupun perizinan, daerah tidak punya kewenangan penuh. Kalau ada konflik masyarakat, daerah yang disuruh menyelesaikan, padahal izinnya dari pusat. Ini persoalan serius,” jelasnya.

Dian juga menyinggung soal tata kelola aset dan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di provinsi hasil pemekaran. Ia menyebut masih ada kendaraan dan fasilitas yang belum dikembalikan ke provinsi induk, serta pajak alat berat yang belum ditagih optimal.

“Kalau PAD kecil, sementara dana Otsus banyak tapi tidak bisa dipakai fleksibel, kita harus cari terobosan. Jangan sampai daerah baru seperti Papua Selatan justru mewarisi persoalan lama,” ujarnya.

Dian menegaskan bahwa perbaikan tata kelola Otsus bukan pilihan, melainkan keharusan. “Dana yang sudah masuk Papua hampir 200 triliun lebih, tetapi indeks kemiskinan masih tinggi, dua sampai tiga kali lipat di atas rata-rata nasional. Itu artinya ada yang salah dalam pengelolaan,” katanya.

KPK, lanjut Dian, akan menjembatani proses perbaikan ini melalui koordinasi lintas kementerian hingga rekomendasi ke Presiden. “Merauke bisa jadi tombak awal. Dari sini kita dorong sampai ke high level meeting di Jakarta, agar lahir terobosan nyata, bukan sekadar business as usual,” pungkasnya. (LBS)

AGENDA
LINK TERKAIT